Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, segenap sahabatnya dan para pengikut setia mereka. Amma ba’d.
Mulai kesempatan ini, kita akan membahas faidah-faidah dari hadits-hadits yang dijadikan sebagai pokok-pokok ajaran Islam. Hadits-hadits ini telah dirangkum oleh para ulama -di antaranya An-Nawawi dan As-Sa’di rahimahumallah- di dalam karya-karya mereka. Sebagai awal mula pembahasan, dengan memohon taufik kepada Allah kami akan mengangkat sebuah hadits yang mulia yaitu hadits Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu tentang niat (hadits pertama dalam Arba’in dan Bahjat Al-Qulub Al-Abrar).
Dari Amir Al-Mukminin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu’anhu, beliau berkata; Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrahnya akan sampai kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya kepada dunia atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya hanya akan sampai kepada apa yang diinginkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini antara lain :
1. Setiap amal yang dikerjakan orang yang sadar pasti memiliki niat, karena niat secara bahasa artinya kehendak atau keinginan. Maka setiap orang yang masih waras akalnya hanya akan melakukan sesuatu dengan niat/kesengajaan. Sebab ungkapan ‘innamal a’maalu bin niyat’ itu dalam bahasa Arab senilai dengan kata-kata mal a’maalu illa bin niyat (tidak ada amal kecuali tanpa niat). Adapun dalam pengertian agama, niat adalah kehendak hati untuk melakukan sesuatu bentuk ibadah dalam rangka taat kepada Allah. Maka hadits ini menunjukkan tidak perlunya bahkan tidak diajarkannya melafazkan niat. Sehingga Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa melafazkan niat -lirih atau pun keras- dinilai bid’ah dan tidak boleh dikerjakan (lihat Syarh Arba’in beliau hal. 9)
2. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang dilakukan oleh manusia dinilai berdasarkan niatnya, sebab Nabi menyatakan, “Setiap amal tergantung pada niatnya.” Inilah yang biasa disebut dengan niat amalan. Dalam syariat, niat memiliki dua kegunaan : [1] Membedakan antara adat (bukan ibadah) dengan ibadah, [2] Membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lain. (lihat Syarh Arba’in yang ditulis oleh An-Nawawi sendiri dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 30 dan Bahjat Al-Qulub Al-Abrar karya As-Sa’di, hal. 15). Satu amal yang secara fisik serupa, namun bisa dihukumi berbeda karena niatnya. Misalnya; ada 2 orang mengerjakan shalat 2 raka’at dengan gerakan dan bacaan yang sama, yang satu mengerjakan shalat dhuha sedangkan yang satunya shalat telat karena bangun kesiangan. Maka yang membedakannya adalah niat.
3. Suatu perbuatan adat/non-ibadah -yang pada asalnya mubah- bisa dinilai ibadah karena niatnya (lihat Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 18). Misalnya; seorang duduk-duduk di masjid antara waktu maghrib dengan isyak dengan niat menunggu shalat, maka ini dinilai ibadah, meskipun yang dilakukan hanya duduk-duduk atau bercakap-cakap dengan temannya. Namun, apabila ada orang yang duduk-duduk di masjid pada waktu yang sama lantas ketika adzan Isyak malah pulang -karena tidak ikut shalat- maka duduk-duduknya tidak bernilai ibadah, karena niatnya berbeda.
4. Niat akan menentukan balasan yang akan diterima, karena Nabi menegaskan, “Setiap orang hanya akan mendapatkan balasan sesuai yang diinginkannya.” Inilah yang biasa disebut dengan niat ma’mul lahu (lihat Syarh Arbain Ibnu Utsaimin, hal. 10-11 dan 15). Seorang yang melakukan shalat dengan ikhlas karena Allah -dan juga mengikuti tuntunan- maka shalatnya akan diterima. Namun orang yang melakukan shalat karena riya’ (ingin dilihat orang) atau mencari pujian semata maka amalnya itu tidak diterima -bahkan berdosa- meskipun secara lahir dia mengerjakan sesuai dengan tuntunan.
5. Hadits ini merupakan hadits yang sangat agung dan mencakup banyak persoalan hukum. Di mana suatu perbuatan dihukumi berdasarkan niatnya,walaupun secara lahir sama maka hukumnya bisa berbeda. Misalnya; seorang suami yang berkata kepada istrinya, “Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu!”.Apabila maksudnya adalah sekedar menyuruh untuk menjenguk mertua maka tidak ada efek hukumnya. Namun apabila maksudnya adalah cerai maka hukum cerai telah terwujud (lihat Al-Wajiz fi Fiqhi Sunnah wal Kitab Al-‘Aziz, hal. 316)
6. Wanita termasuk dalam kata dunia, meskipun demikian Nabi menyebutkannya secara terpisah. Hal ini menunjukkan -sebagaimana kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah- karena banyaknya orang terfitnah karenanya dan godaan/fitnah yang timbul karena wanita itu lebih dahsyat dibandingkan unsur dunia yang lainnya (lihat Fath Al-Bari, 1/21). Wallahu a’lam bish-shawaab.